Mahasiswi ITB Jadi Tersangka Akibat Meme Prabowo-Jokowi: Polemik Kebebasan Berekspresi di Era Digital
Pada Mei 2025, publik Indonesia dikejutkan oleh penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS. Mahasiswi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri setelah mengunggah meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pose yang dianggap tidak senonoh.
Kronologi Penangkapan
Penangkapan SSS dilakukan pada Jumat, 9 Mei 2025, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Meme yang diunggahnya di platform media sosial X (sebelumnya Twitter) menampilkan gambar rekayasa digital yang memperlihatkan Prabowo dan Jokowi berciuman. Unggahan tersebut segera viral dan memicu kontroversi di kalangan masyarakat.
Pihak kepolisian menilai bahwa unggahan tersebut melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). SSS dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU No. 1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Respons Pemerintah dan Istana
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan pembinaan terhadap SSS. Ia menekankan bahwa sebagai anak muda, SSS sebaiknya dibina agar lebih bijak dalam mengekspresikan pendapatnya, bukan langsung dihukum.
Hasan juga menyebut bahwa Presiden Prabowo tidak mengadukan atau melaporkan kasus tersebut, meskipun menyayangkan isi dari meme yang diunggah. Ia menambahkan bahwa ruang ekspresi harus diisi dengan hal-hal yang bertanggung jawab dan tidak menjurus pada penghinaan atau kebencian.
Sikap ITB dan Keluarga
Pihak ITB melalui Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Nurlaela Arief, menyatakan bahwa kampus memberikan pendampingan kepada SSS dan telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM). Orang tua SSS juga telah datang ke kampus untuk menyampaikan permintaan maaf atas tindakan anaknya.
Reaksi Publik dan Aktivis HAM
Penangkapan SSS memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia melalui Direktur Eksekutif Usman Hamid mendesak agar SSS segera dibebaskan. Menurutnya, penangkapan tersebut bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.
Usman menilai bahwa penggunaan UU ITE dalam kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi yang dapat menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan membungkam kritik di ruang publik. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi oleh hukum HAM internasional maupun nasional, termasuk UUD 1945.
Tanggapan Mahasiswa dan BEM SI
Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto, menyatakan bahwa aliansi mahasiswa tidak akan tinggal diam terhadap penangkapan SSS. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. BEM SI berencana menggelar aksi solidaritas dan advokasi hukum untuk mendukung SSS.
Polemik UU ITE dan Kebebasan Berekspresi
Kasus SSS kembali menyoroti kontroversi seputar UU ITE yang sering dianggap sebagai alat untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi. Banyak pihak mendesak agar pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU ITE untuk mencegah penyalahgunaan dan kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan pendapatnya di ruang digital.
Pakar hukum dan aktivis menyarankan pendekatan restoratif dan edukatif dalam menangani kasus-kasus seperti ini, terutama ketika pelakunya adalah anak muda yang masih dalam proses belajar dan mencari jati diri. Mereka menekankan pentingnya membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian yang benar-benar merugikan.
Kesimpulan
Kasus penangkapan mahasiswi ITB akibat unggahan meme Prabowo-Jokowi menjadi refleksi penting bagi Indonesia dalam menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan kebebasan berekspresi. Diperlukan kebijakan yang bijak dan proporsional agar ruang digital tetap menjadi wadah yang sehat untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat tanpa rasa takut akan kriminalisasi.