Kategori: INTERNASIONAL

Mpox Kembali Mengancam Dunia: Wabah Global yang Terus Meluas di Tahun 2025

Mpox Kembali Mengancam Dunia

Pada tahun 2025, dunia kembali dihadapkan pada ancaman serius dari penyakit menular yang dikenal sebagai Mpox, sebelumnya disebut cacar monyet. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengonfirmasi bahwa wabah Mpox masih dianggap sebagai darurat kesehatan masyarakat global, dengan lebih dari 21.000 kasus dan 70 kematian dilaporkan secara global sejak awal 2024.

Apa Itu Mpox?

Mpox adalah infeksi virus yang mirip dengan cacar, namun umumnya lebih ringan. Penyakit ini ditularkan melalui kontak dekat dengan individu yang terinfeksi, serta melalui hewan ke manusia. Gejala awal meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot, dan ruam kulit yang berkembang menjadi lesi berisi cairan. Meskipun sebagian besar kasus bersifat ringan, beberapa dapat berkembang menjadi kondisi serius, terutama pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Penyebaran Global dan Mutasi Virus

Wabah Mpox yang awalnya terkonsentrasi di Republik Demokratik Kongo (DRC) kini telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Uganda, Burundi, Thailand, dan Inggris. Varian baru yang lebih agresif, dikenal sebagai clade Ib, telah diidentifikasi, menunjukkan kemampuan virus untuk bermutasi dan meningkatkan penularannya antar manusia.

Di China, otoritas kesehatan mendeteksi klaster varian baru Mpox, clade Ib, yang muncul dalam wabah terlokalisasi. Kasus pertama melibatkan seorang warga asing dengan riwayat perjalanan ke Republik Demokratik Kongo, dengan kasus-kasus berikutnya muncul melalui kontak dekat. Individu yang terinfeksi menunjukkan gejala ringan seperti ruam kulit dan lepuh. Mpox diketahui menyebar melalui kontak dekat, menyebabkan gejala mirip flu dan lesi berisi nanah, dan kadang-kadang bisa berakibat fatal. Organisasi Kesehatan Dunia telah menyatakan Mpox sebagai darurat kesehatan masyarakat global dua kali dalam beberapa tahun terakhir karena penyebarannya dari DRC ke negara-negara lain seperti Burundi, Kenya, Rwanda, dan Uganda. Setelah wabah awal, China mengumumkan pemantauan dan pengendalian ketat untuk mencegah penyebaran virus, memperlakukan Mpox sebagai penyakit menular Kategori B untuk memungkinkan langkah-langkah darurat seperti pembatasan pertemuan dan penangguhan aktivitas publik.

Tantangan Penanganan dan Kesiapsiagaan Global

Penanganan wabah Mpox menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan dalam deteksi dini, kurangnya vaksin yang efektif, dan infrastruktur kesehatan yang tidak memadai di beberapa negara. WHO menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam meningkatkan kapasitas respons, termasuk pengembangan vaksin dan terapi yang efektif, serta peningkatan sistem surveilans untuk mendeteksi dan merespons wabah dengan cepat.

Langkah-Langkah Pencegahan dan Edukasi Masyarakat

Pencegahan penyebaran Mpox memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk edukasi masyarakat tentang cara penularan dan gejala penyakit, serta pentingnya isolasi bagi individu yang terinfeksi. Pemerintah dan organisasi kesehatan di seluruh dunia didorong untuk meningkatkan kampanye kesadaran, menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, dan memastikan akses terhadap perawatan bagi mereka yang terdampak.

Kesimpulan

Wabah Mpox yang terus meluas di tahun 2025 menjadi pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan global dalam menghadapi penyakit menular. Dengan kerja sama internasional, peningkatan kapasitas sistem kesehatan, dan edukasi masyarakat yang efektif, dunia dapat menghadapi tantangan ini dan mencegah dampak yang lebih luas di masa depan.

Mahasiswi ITB Jadi Tersangka Akibat Meme Prabowo-Jokowi: Polemik Kebebasan Berekspresi di Era Digital

Mahasiswi ITB Jadi Tersangka Akibat Meme Prabowo-Jokowi

Pada Mei 2025, publik Indonesia dikejutkan oleh penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS. Mahasiswi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri setelah mengunggah meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pose yang dianggap tidak senonoh.

Kronologi Penangkapan

Penangkapan SSS dilakukan pada Jumat, 9 Mei 2025, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Meme yang diunggahnya di platform media sosial X (sebelumnya Twitter) menampilkan gambar rekayasa digital yang memperlihatkan Prabowo dan Jokowi berciuman. Unggahan tersebut segera viral dan memicu kontroversi di kalangan masyarakat.

Pihak kepolisian menilai bahwa unggahan tersebut melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). SSS dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU No. 1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

Respons Pemerintah dan Istana

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan pembinaan terhadap SSS. Ia menekankan bahwa sebagai anak muda, SSS sebaiknya dibina agar lebih bijak dalam mengekspresikan pendapatnya, bukan langsung dihukum.

Hasan juga menyebut bahwa Presiden Prabowo tidak mengadukan atau melaporkan kasus tersebut, meskipun menyayangkan isi dari meme yang diunggah. Ia menambahkan bahwa ruang ekspresi harus diisi dengan hal-hal yang bertanggung jawab dan tidak menjurus pada penghinaan atau kebencian.

Sikap ITB dan Keluarga

Pihak ITB melalui Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Nurlaela Arief, menyatakan bahwa kampus memberikan pendampingan kepada SSS dan telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM). Orang tua SSS juga telah datang ke kampus untuk menyampaikan permintaan maaf atas tindakan anaknya.

Reaksi Publik dan Aktivis HAM

Penangkapan SSS memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia melalui Direktur Eksekutif Usman Hamid mendesak agar SSS segera dibebaskan. Menurutnya, penangkapan tersebut bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.

Usman menilai bahwa penggunaan UU ITE dalam kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi yang dapat menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan membungkam kritik di ruang publik. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi oleh hukum HAM internasional maupun nasional, termasuk UUD 1945.

Tanggapan Mahasiswa dan BEM SI

Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto, menyatakan bahwa aliansi mahasiswa tidak akan tinggal diam terhadap penangkapan SSS. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. BEM SI berencana menggelar aksi solidaritas dan advokasi hukum untuk mendukung SSS.

Polemik UU ITE dan Kebebasan Berekspresi

Kasus SSS kembali menyoroti kontroversi seputar UU ITE yang sering dianggap sebagai alat untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi. Banyak pihak mendesak agar pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU ITE untuk mencegah penyalahgunaan dan kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan pendapatnya di ruang digital.

Pakar hukum dan aktivis menyarankan pendekatan restoratif dan edukatif dalam menangani kasus-kasus seperti ini, terutama ketika pelakunya adalah anak muda yang masih dalam proses belajar dan mencari jati diri. Mereka menekankan pentingnya membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian yang benar-benar merugikan.

Kesimpulan

Kasus penangkapan mahasiswi ITB akibat unggahan meme Prabowo-Jokowi menjadi refleksi penting bagi Indonesia dalam menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan kebebasan berekspresi. Diperlukan kebijakan yang bijak dan proporsional agar ruang digital tetap menjadi wadah yang sehat untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat tanpa rasa takut akan kriminalisasi.